Sabtu, 27 Oktober 2012

TUGAS MID KELOMPOK


Rencana Simulasi Belajar ( Vygotsky )
 

Alat dan Bahan  :
Kertas HVS yang tdd beberapa lembar dan dibuat berbentuk buku
- Alat tulis, berupa pensil, pulen berwarna, spidol
- Penggaris 60cm
- White Board
 
Cara Permainan  :
1. Setiap anak menentukan perannya masing-masing, yaitu sebagai guru atau murid.
2. Peran guru diperankan oleh 2 anak dan sisanya berperan sebagai murid.
3. Menentukan apa yang menjadi tugas pada masing-masing peran yang dipilih.
4. Mengatur tempat untuk bermain, misalnya posisi tempat duduk, posisi white board.
5. Memulai permainan sesuai dengan perannya masing-masing.
 
Tujuan  :
-          Anak  mampu mengambil peran yang jelas dimana peran yang dipilih oleh anak harus dapat diperagakan sesuai dengan tuntutan peran, misalnya sebagai murid, ia harus mendengarkan arahan dan perintah dari guru.
      Penerimaan terhadap perbedaan individu dimana ada penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Memberi peluang bagi anak dari berbagai latar belakang dan kondisi serta melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain. Pengembangan keterampilan sosial dimana mengajarkan kepada anak keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki oleh anak sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.

  Pembahasan  :
          Vygotsky yakin bahwa anak akan jauh lebih berkembang jika berinteraksi dengan orang lain, meskipun pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri beberapa konsep melalui pengalaman sehari-hari. Tanpa bantuan orang lain,  anak-anak tidak akan pernah mengembangkan pemikiran operasional formal.
             Pada satu sisi, Piaget menjelaskan proses perkembangan kognitif sejalan dengan kemajuan anak-anak, dan dia menggambarkan bahwa  anak-anak mampu melakukan sesuatu sendiri. Pada sisi lain, Vygotsky mencari pengertian bagaimana anak-anak berkembang dengan melalui proses belajar, dimana fungsi-fungsi kognitif belum matang, namun masih dalam proses pematangan.
              Vygotsky membedakan antara Actual Development dan Potensial Development pada anak. Actual Development ditentukan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa atau guru.Sedangkan Potensial Development membedakan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu, memecahkan masalah di bawah petunjuk orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya.
           Menurut  Vygotsky, Zona Perkembangan Proksimal merupakan celah antara Actual Development dan Potensial Development, dimana antara apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya. Inti dari ZPD adalah menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial yang akan dapat memudahkan perkembangan anak. Permainan imajiner adalah sumber utama dari perkembangan aktivitas simbolik. Anak memberi makna baru pada mainan dan objek lain dan memandang dirinya sendiri mengambil peran baru yang beragam, dimana anak harus: (a) mengambil peran yang jelas, dan (b) mengubah property benda dengan cara yang jelas. Seperti pada permainan peran diatas, anak yang berperan sebagai guru akan menggunakan spidol dan menuliskan sesuatu di white board kemudian berbicara seolah-olah ia seorang guru yang sedang mengajar didepan kelas. Proses akuisisi internal atas peran lambing atau symbol tidak terjadi secara otomatis. Sebaliknya, transisi dari bidang social eksternal ke bidang psikologis internal merupakan transisi dimana anak mulai melakukan bentuk perilaku yang sama yang oleh orang lain sebelumnya telah dilakukan. Dengan kata lain jalur dasar dalam penguasaan individu atas perilakunya adalah imitasi atau peniruan. Namun, ini bukan mekanika transfer sederhana dari satu orang ke orang lain. Sebaliknya, imitasi membutuhkan “pemahaman tertentu atas signifikansi dari tindakan orang lain”. Misalnya, jika individu tidak tahu apa pun mengenai belajar mengajar disekolah, ia tidak dapat berperan sebagai murid meski temannya sedang berperan sebagai guru yang sedang mengajar muridnya.

Selasa, 23 Oktober 2012

Review Jurnal Berdasarkan Teori Kognitif I


Judul Penelitian : 


Instansi            : Universitas Negeri Surabaya

Penulis             : Ika Kusuma Wardani dan Retno Tri Hariastuti

Kata kunci       : strategi pengubahan pola pikir, persepsi negatif

Abstraksi         :
Penelitian yang dilakukan bertujuan menguji keefektifan strategi pengubahan pola pikir (cognitive restructuring) untuk mengurangi persepsi negatif siswa terhadap konselor sekolah. Data tentang tingkat persepsi negatif siswa terhadap konselor sekolah diperoleh melalui angket yang disusun sendiri. Penelitian pre-eksperiment ini dirancang menggunakan pretest post-test one group design. Subjek penelitian terdiri dari 5 siswa yang mempunyai persepsi negatif terhadap konselor sekolah kategori tinggi. Data yang terkumpul dianalisis dengan uji tanda (sign test). Hasil analisis data diperoleh jumlah tanda positif = 0 dan jumlah tanda negatif = 5. Dari tabel binomial untuk N = 5 dan X = 0 diperoleh ρ = 0, 031. Dengan taraf signifikasi 5%, ternyata harga ρ ( 0, 031) lebih kecil dari α (0,05). Maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pemberian strategi pengubahan pola pikir dalam mengurangi persepsi negatif siswa terhadap konselor sekolah.

Latar Belakang Penelitian :
     Dunia persepsi adalah suatu dunia yang penuh dengan arti. Mempersepsi tidaklah sama dengan memandang benda dan kejadian tanpa makna. Yang dipersepsi seseorang selalu merupakan ekspresi-ekspresi, benda-benda dengan fungsinya, tanda-tanda, serta kejadian-kejadian. Seperti kata Leavitt, “persepsi merupakan pandangan atau bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu” (Sobur, 2003:445). Semua yang dipersepsi itu mempunyai arti tersendiri dalam pikiran. Misalnya saja, siswa yang datang terlambat ke sekolah atau melanggar tata tertib sekolah, kemudian dipanggil ke ruang bimbingan dan konseling (BK) untuk menghadap guru BK atau konselor, maka siswa-siswa tersebut akan memiliki pandangan atau anggapan bahwa guru BK (konselor sekolah) adalah sosok orang yang galak, yang bisanya hanya menghukum dan mengatur para siswanya.
     Persepsi individu tentang seseorang terjadi karena individu tersebut memperhatikan karakteristik, perilaku, dan juga mimik wajah orang lain itu. Menurut Walgito (1985:51) “perhatian merupakan langkah awal sebagai persiapan untuk mengadakan persepsi tentang obyek tertentu.” Dari perhatian tersebut dapat ditarik kesimpulan atas orang yang sudah diamati. Seperti halnya dalam dunia pendidikan, setiap siswa mempunyai persepsi yang berbeda terhadap konselor sekolahnya. Persepsi siswa terhadap konselor terjadi karena siswa tersebut memperhatikan sesuatu yang nampak pada diri konselor, yang meliputi penampilan fisik, perilaku, dan juga ruang lingkup kerja (tugas) konselor. Jika penampilan fisik, perilaku dan ruang lingkup kerja konselor seperti apa yang diharapkan oleh siswa, maka persepsi siswa tentang konselor akan baik (positif). Begitu pula sebaliknya, jika penampilan fisik, perilaku dan ruang lingkup kerja konselor tidak seperti apa yang diharapkan oleh siswa, maka siswa akan berpersepsi kurang baik (negatif) terhadap konselor.
       Informasi yang diperoleh menunjukkan bahwa masih ditemukan siswa yang menganggap konselor adalah seorang guru yang galak, tidak bisa diajak bercanda, bahkan konselor disebut polisi sekolah yang bisanya hanya memarahi dan menghukum siswa-siswa yang melanggar tata tertib sekolah. Sehingga apabila ada siswa yang datang menghadap konselor, maka siswa tersebut diyakini mempunyai masalah pelanggaran atau telah berbuat suatu kesalahan.
Oleh karena itu, untuk membantu siswa dalam mengurangi persepsi negatif siswa terhadap konselor sekolah, maka diperlukan cara yang tepat untuk menanganinya. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh konselor yakni mengupayakan konseling dengan menggunakan strategi pengubahan pola pikir. Strategi tersebut memusatkan perhatian pada upaya mengidentifikasi dan mengubah pikiran-pikiran atau pernyataan diri negatif dan keyakinan-keyakinan konseli yang tidak rasional.


Pembahasan       :
Persepsi negatif siswa terhadap konselor sekolah merupakan pandangan atau pendapat siswa yang negatif terhadap konselor sekolah. Jalaludin (2003) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi persepsi antara lain; a) faktor fungsional, yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, sifat-sifat individual dan hal-hal lain yang termasuk apa yang kita sebut sebagai faktor-faktor personal. Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan stimuli itu. Krech dan Crutchfield merumuskan dalil persepsi yaitu persepsi bersifat selektif secara fungsional. Dalil ini berarti bahwa objek-objek yang mendapat tekanan dalam persepsi kita biasanya objek-objek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi. b) Faktor struktural, berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek syaraf yang ditimbulkannya. Pada faktor ini, Krech dan Crutchfield (1985) menyebutkan bahwa medan persepsual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti. Ini berarti bahwa seseorang mengorganisasikan stimuli dengan melihat konteksnya. Walaupun stimuli yang diterima itu tidak lengkap, orang akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang dipersepsi.
Untuk membantu mengurangi persepsi negatif siswa terhadap konseor sekolah, maka diberikan perlakuan strategi pengubahan pola pikir. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Cormier (1985) bahwa strategi pengubahan pola pikir tidak hanya bertujuan untuk membantu konseli belajar mengenal dan menghentikan pikiran-pikiran negatif atau yang merusak diri, tetapi juga mengganti pikiran-pikiran tersebut dengan pikiran yang positif. Masih menurut Cormier (1985:103), strategi pengubahan pola pikir berfokus pada pengidentifikasian dan perubahan kepercayaan konseli yang tidak rasional dan pikiran atau statemen negatif yang ada pada diri konseli.
Adapun tahapan dari strategi pengubahan pola pikir yaitu pemberian rasionel, yakni menyampaikan tujuan dan tinjauan singkat prosedur; identifikasi pikiran konseli dalam situasi problem yakni mendeskripsikan pikiran-pikiran konseli dalam situasi problem, memodelkan hubungan antara peristiwa dan emosi, pemodelan pikiran oleh konseli; pengenalan dan latihan coping thought (ct) yakni penjelasan dan pemberian contoh-contoh ct, pembuatan contoh oleh konseli, konseli mempraktekkan ct; pindah dari pikiran-pikiran negatif ke coping thoughts yakni pemberian contoh peralihan pikiran oleh konselor, latihan peralihan pikiran oleh konseli; pengenalan dan latihan penguat positif, pemberian tugas rumah dan tindak lanjut.         


Hasil Penelitian         :
Setelah subyek penelitian diberikan perlakuan berupa konseling dengan strategi pengubahan pola pikir, kemudian diukur kembali persepsinya terhadap konselor sekolah. Berdsarkan analisis data pretes dan postes, ternyata terdapat perbedaan skor persepsi negarif yang signifikan antara sebelum dengan sesudah perlakuan. Dari 5 subyek penelitian, semua mengalami penurunan skor tentang persepsi negative terhadap konselor setelah diberikan konseling dengan strategi pengubahan pola pikir. Data yang terkumpul dianalisis dengan uji tanda (sign test). Hasil analisis data diperoleh jumlah tanda positif = 0 dan jumlah tanda negatif = 5. Dari tabel binomial untuk N = 5 dan X = 0 diperoleh ρ = 0, 031. Dengan taraf signifikasi 5%, ternyata harga ρ ( 0, 031) lebih kecil dari α (0,05). Maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pemberian strategi pengubahan pola pikir dalam mengurangi persepsi negatif siswa terhadap konselor sekolah. Hasil penelitian menunjuukan bahwa pemberian konseling menggunakan strategi pengubahan pola pikir berhasil mengurangi atau mengubah persepsi negatif siswa tentang seorang konselor. Yang semula siswa beranggapan atau berpersepsi kalau konselor adalah seorang guru yang galak, jahat dan konselor juga dianggap sebagai polisi sekolah ternyata bisa berubah anggapan bahwa konselor adalah orang yang bisa memberikan bantuan atau bimbingan. Persepsi lain yang muncul yaitu bahwa konselor merupakan sosok guru yang tegas, yang dapat memberi perhatian, motivasi atau arahan kepada para siswa. 

Kesimpulan     :
Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan statistik non parametrik, yaitu dengan menggunakan uji tanda, dapat diketahui bahwa X=0 dan N= 5, dimana N adalah jumlah subjek penelitian dan X adalah jumlah tanda yang paling sedikit. Hal ini dapat dilihat pada tabel binomial dari nilai ρ = 0, 031 lebih kecil dari α = 0,05. Harga ρ yang lebih kecil dari harga α menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan terhadap tingkat persepsi negatif siswa terhadap konselor antara sebelum dan sesudah diterapkan strategi pengubahan pola pikir.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa strategi pengubahan pola pikir efektif dalam membantu mengurangi dan mengubah persepsi negatif siswa tentang konselor sekolah.